Jumat, 15 April 2011

MEMBANGUN PERADABAN

MEMBANGUN PERADABAN


PENGETAHUAN MANUSIA DAN KEBENARAN METAFISIK (Menurut John Locke dan A.N. Whitehead)
Pendahuluan
Mengajukan pertanyaan kritis merupakan ciri yang sangat melekat dalam penulusuran filsafati. Macam-macam persoalan selalu ditanggapi dengan mengajukan pertanyaan kritis. Salah satu masalah yang sampai saat ini masih sangat hangat dibicarakan adalah tentang kebenaran. Dalam sejarah filsafat, telah banyak filsuf yang mempertanyakan apa itu kebenaran. Kebenaran menjadi tema yang merangsang perkembangan ide-ide filsafat. Hal ini terjadi karena diskusi tentang kebenaran merangkul keseluruhan totalitas di dalamnya sehingga tidak ada sesuatupun yang terlewatkan. Persoalan tentang apa itu kebenaran tidak mungkin dapat dipisahkan dari pengaruh rasio atau akal budi manusia. Kebenaran metafisik atau kebenaran yang dimiliki oleh pengada selalu ditegaskan oleh kerja akal budi. Bertolak dari pemahaman yang demikian, dalam karya tulis ini akan dibicarakan konsep tentang pengetahuan manusia menurut John Lock dan A.N. Whitehead sebagai penegasan bahwa antara kerja rasio manusia yang menghasilkan pengetahuan dan konsep kebenaran tidak mungkin dipisahkan.

I. Kebenaran Metafisik
Yang ada memiliki ciri atau sifat transendental. Penegasan itu menyertakan pertanyaan: apa yang menjadi ciri transendental dari yang ada? Ada beberapa ciri transendental dari yang ada. Ciri-ciri transendental itu juga sekaligus menjadi unsur konstitutif dari yang ada. Pada bagian ini, pusat perhatian adalah kebenaran sebagai salah satu ciri transendental dari yang ada. Penelusuran ini dapat dimulai dari penegasan: yang ada ialah bahwa yang ada itu benar. Yang ada dalam hubungan dengan intelek atau akal budi, menjelma menjadi kebenaran. Karena itu kebenaran merupakan atribut atau sifat dari yang ada dalam kaitan dengan pemahaman. Dengan demikian, kebenaran dapat dikatakan sebagai atribut yang relatif sifatnya.[1]
Kebenaran tidak berarti jika dilepaskan dari subjek yang mengetahui. Hanya yang tiada yang tidak mempunyai hubungan dengan kebenaran. Kebenaran hanya mungkin ada jika sesuatu itu sungguh-sungguh bereksistensi secara riil. Jika sesuatu itu tidak ada, maka sesuatu itu tidak dapat dikatakan sebagai yang benar. Artinya, di dalamnya tidak terkandung kebenaran.[2] Dengan demikian, apa yang dikonsepkan oleh Aquinas bahwa kebenaran merupakan adequatio rei et intellectus (kesesuaian antara pikiran dengan hal) menjadi relevan.[3]
Kebenaran dalam metafisika adalah yang ada sejauh berhadapan dengan akal budi atau pikiran manusia. Kebenaran selalu berhubungan langsung dengan akal budi yang mengetahuinya. Artinya, kebenaran tersaji di hadapan akal budi untuk ditangkap dan dipahami. Bertolak dari pemahaman yang demikian maka dapat ditegaskan bahwa kebenaran tidak dapat dipisahkan dari kapasitas rasional manusia. Kebenaran selalu menyangkut relasi antara realitas dan rasio manusia. Artinya, kebenaran selalu berhubungan dengan pengetahuan manusia.

II. Konsep Tentang Pengetahuan
Telah ditegaskan pada bagian sebelumnya yakni kebenaran sebagai ciri transendental dari yang ada selalu tidak bisa dipisahkan dari kapasitas rasionalitas manusia. Hal ini terjadi karena kebenaran selalu menyangkut relasi antara realitas dan rasio manusia. Artinya, kebenaran selalu berhubungan dengan aktivitas rasional dari akal budi yang menghasilkan pengetahuan. Oleh karena itu, pada bagian ini akan disoroti dua pandangan dari filsuf yang berbeda tentang apa itu pengetahuan manusia dan hubungannya dengan konsep kebenaran.

A. John Locke[4]: Ide-ide dan pengetahuan
Locke memulai refleksinya tentang pengetahuan manusia dengan mengajukan pertanyaan: “Dari mana pengetahuan manusia itu berasal?” Locke menegaskan bahwa pengetahuan manusia berasal dari pengalaman inderawi. Pengalaman inderawi memungkinkan manusia memiliki ide-ide sederhana. Ide-ide sederhana tersebut dapat menjadi ide kompleks jika sudah ada kombinasi yang melibatkan beberapa dari ide-ide sederhana tersebut. Kombinasi dari ide-ide sederhana itu misalnya “sebab”, “relasi”, “syarat”, dan sebagainya. Ide-ide dalam akal budi manusia itu berawal dari pencerapan inderawi. Ada dua bentuk sumber pengetahuan manusia menurutnya, yaitu sensasi dan refleksi. Dua hal ini menjadi sumber dari ide-ide sederhana.[5]
Ide-ide yang dimaksudkan Locke didapatkan melalui cara yang bervariasi atau melalui indera yang berbeda. Ide-ide yang diterima melalui panca indera itu dapat sampai pada akal budi dan menggerakkanya. Dan, akal budi dapat mengembangkan ide-ide yang ada itu melalui proses penalaran dan pertimbangan. Itulah yang disebut Locke sebagai sensasi.
Refleksi meliputi aktivitas seperti berpikir, meragukan, percaya, bernalar, mengetahui, menghendaki, dan semua aktivitas yang menghasilkan ide-ide yang berbeda dari apa yang diperoleh melalui panca indera. Dengan demikian, menjadi jelaslah bahwa apa yang dimaksudkan oleh Locke sebagai ide-ide tidak saja tentang hal-hal yang berada di luar akal budi (eksternal) tetapi juga refleksi dalam akal budi (internal).[6]
Locke memberi perhatian yang sangat besar pada usaha manusia untuk mengenal. Baginya yang paling penting bukanlah memberi pandangan metafisis tentang tabiat roh dan benda. Locke menolak rasionalisme yang menganggap bahwa ide-ide dan asas-asas pertama sebagai bawaan manusia. Menurutnya, segala pengetahuan datang dari pengalaman yang didapatkan.[7] Locke melihat bahwa pengetahuan terbatas pada ide-ide. Pekerjaan roh manusia terbatas pada memberi sebutan kepada ide-ide tunggal, menggabung-gabunggkannya, merangkumkannya, dan menjadikannya bersifat umum.

B. A.N.Whitehead: Pengetahuan Intelektif dan Kebenaran
Definisi pengetahuan yang diterima secara luas mengatakan bahwa pengetahuan adalah keyakinan mengenai suatu objek yang telah dibuktikan kebenarannya.[8] Penegasan ini membawa konsekuensi bahwa kita hanya bisa mempunyai pengetahuan mengenai sesuatu yang benar.[9]
Bagi Whitehead, pengetahuan merupakan kegiatan intelektual yang melibatkan baik objek maupun intelegensi manusia. Objek pengetahuan adalah segala sesuatu yang ada. Kenyataan lain bahwa budi manusia bersifat berbatas. Namun demikian, objek dari pengetahuan menjadi tidak terbatas, karena budi manusia ingin menjangkau segala sesuatu baik dalam hal macam-macam jenis objeknya yang mungkin ada maupun segala aspek dari masing-masing objek. Aspek-aspek ini bisa dimengerti sebagai aspek internal dan eksternal. Pengetahuan internal dan eksternal itu sifatnya saling mengandaikan dan tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain.
Whitehead melihat bahwa munculnya entitas aktual selalu berhubungan dengan prehensi. Setiap diri yang melakukan penangkapan terhadap unsur-unsur eksternal, secara langsung dibentuk juga dengan hasil tangkapannya itu. Prehensi positif baginya adalah rasa (feeling) sedangkan prehensi negatif berarti penyingkiran. Munculnya entitas aktual selalu disebabkan dari proses konkresi dari entitas-entitas yang lain.

III. Kesimpulan: Pengetahuan dan Kebenaran Dari Yang Ada
Penegasan yang paling penting adalah sesuatu dikatakan benar jika sesuatu itu mewujudkan dalam dirinya tipe berada tertentu. Tipe berada itu mempunyai unsur-unsur tertentu dan memiliki suatu kepastian yang tidak tergoyahkan. Tipe berada itu merupakan produk dari akal budi, atau merupakan ide yang bereksistensi di dalam rasio manusia. Kebenaran selalu berhubungan dengan tipe yang ideal. Tipe yang ideal tersebut adalah tipe yang dipikirkan dalam akal budi manusia.[10]
John Locke dan Whitehead dalam konsepnya tentang pengetahuan manusia telah mengkonfirmasikan bahwa apa yang ideal dalam akal budi manusia merupakan tipe yang dipikirkan. Asalnya adalah dunia eksternal yaitu pengalaman inderawi. Hal itu menegaskan bahwa sesungguhnya apa yang dipikirkan, tipe yang ideal itu sungguh-sunguh benar bereksistensi. Karena ia sungguh riil bereksistensi maka ide tersebut sangat melekat pada yang ada secara nyata. Hal itulah yang memungkinkan sesuatu dapat dikenal sebagaimana adanya dan dapat dijelaskan. Artinya, semua yang ada secara riil (dalam akal budi manusia yang telah melewati pegolahan setelah dicerap secara inderawi) adalah benar. Kebenaran terkandung dalam setiap yang ada. Pengetahuan manusia tentang yang ada hanya mungkin sejauh yang ada itu bereksistensi dan mengandung kebenaran di dalam dirinya.


**********





Daftar Pustaka
Bagus, Lorens. “Kebenaran.” Dalam Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 2002.
Bagus, Lorens. Metafisika. Jakarta: Gramedia, 1991.
Bakker, Anton. Ontologi Atau Metafisika: Filsafat Pengadan Dan Dasar Kenyataan. Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Bogliolo, Luigi. Metaphysics. Bangalore: Teological India University, 1987.
Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius, 1980..
Hadi, Hardono. Jati Diri Manusia Berdasar Filsafat Organisme Whitehead. Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Hamersma, Harry. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: Gramedia, 1983.
Keraf, Sonny dan Mikhael Dua. Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
R. Aa., “Locke, John.” Dalam The New Encyclopedia Britannica. Diedit oleh Jacob E. Safra. Chicago: Encyclopedia Britannica Inc., 2002.





________________________________________
[1] Lorens Bagus, Metafisika (Jakarta: Gramedia, 1991), hlm. 86.
[2] Bdk. Luigi Bogliolo, Metaphysics (Bangalore: Teological India University, 1987), hlm. 25.

[3] Bdk. juga dengan penegasan Bertrand Russell bahwa “kebenaran adalah kesesuaian (correspondence), antara keyakinan dan kenyataan”. Kesesuaian di sini menunjuk kepada hubungan antara pikiran dan kenyataan yang membentuk kebenaran. Terkutip dalam Hardono Hadi, Jati Diri Manusia Berdasar Filsafat Organisme Whitehead (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 146.

[4] Locke (1632-1704) adalah seorang empirist berkebangsaan Inggris. Menurutnya, segala sesuatu dalam pikiran manusia berasal dari pengalaman inderawi dan tidak dari akal budi. Bagi Locke, akal budi dapat diandaikan seperti sehelai kertas putih kosong yang baru dapat diisi melalui pengalaman inderawi. Lih. Harry Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern (Jakarta: Gramedia, 1983), hlm. 18-20.
[5] “...It is simple ideas alone that are given in sensation and reflection. Out of them the mind form complex ideas...” R. Aa., “Locke, John,” dalam The New Encyclopedia Britannica, diedit oleh Jacob E. Safra (Chicago: Encyclopedia Britannica Inc., 2002).

[6] Ibid.

[7] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hlm. 36.

[8] Bdk. Konsep pengetahuan yang dikembangkan oleh John Locke, ataupun oleh Descartes, David Hume dan Immanuel Kant.

[9] Hardono Hadi, Jati Diri Manusia Berdasar Filsafat Organisme Whitehead (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 141.
[10] Bdk. Lorens Bagus, Metafisika (Jakarta: Gramedia, 1991), hlm. 93.
Wajah Kebenaran Post-Metafisik
Afthonul Afif, Mahasiswa Psikologi Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta
Pemikiran filsafat di era posmodern, menunjukkan perhatian yang besar terhadap posisi bahasa. Bahasa tidak sekedar dianggap sebagai alat bagi kegitan berfilsafat, tetapi sudah menjadi tujuan dari kegiatan itu sendiri. Tidak ada lagi kebenaran ontologik yang melampaui bahasa. Kebenaran hanyalah semacam kemungkinan-kemungkinan yang lahir dari bentuk-bentuk permainan bahasa. Pembalikan ke arah bahasa (linguistic turn) ini menandai berakhirnya kejayaan filsafat yang begitu berhasrat memproduksi gagasan-gagasan absolut bagi tercapainya pemahaman semesta yang tuntas dan padu. Satu abad yang lalu, filsafat masih berkutat dengan tema-tema besar seperti “akal budi”, “subjek rasional”, “roh”, dan “kesadaran”. Namun, sekarang, di era posmodern, filsafat menempatkan “bahasa” sebagai pusat kajiannya.
Kecenderungan semacam itu bukan berarti filsafat telah mengalami frustasi—kemudian kehilangan kekuatannya dalam memproduksi gagasan-gagasan yang mendasar. Namun, agaknya filsafat mulai menyadari dan menginsyafi bahwa dirinya selama ini telah membuat kesalahan serius dengan melihat dunia dalam ketunggalan manifestasi dan mengabaikan kejamakan nuansanya. Konsekuensi dari pertobatan ini mungkin mengkhawatirkan—karena telah lahir gambaran dunia baru yang serba retak, tak pernah selesai, dan tak bisa dipahami sepenuhnya. Namun di sisi lain, hal ini juga merekahkan kembali harapan—harapan bagi berpendarnya hak-hak yang selama ini tersisihkan. Dengan kata lain, filsafat semakin arif dan akomodatif—juga semakin realistis.
Filsafat yang rendah hati itu lahir dengan nama-nama baru, seperti posstrukturalisme, hermeneutika, dan neopragmatisme. Posstrukturalisme yang “bengal” dan “urakan” itu telah meruntuhkan struktur-struktur pemahaman dan kebenaran yang terlihat solid dan padu. Hermeneutika dengan relatif lebih anggun menampilkan wajah kebenaran dalam rantai tafsir yang tiada putusnya. Dan neopragmatisme, begitu gigih menyerukan solidaritas meskipun harus bertumpu pada pijakan yang tak satu.
Namun, kelak, bukan hanya jenis filsafat yang lincah melayangkan koreksi, tapi mungkin jenis filsafat yang bersedia menyapa peristiwa-peristiwa aktual sehari-hari saja yang akan mendapatkan tempat di hati masyarkat. Artinya, filsafat tidak lagi mengisolasi dirinya dari praktik-praktik komunikasi sehari-hari. Filsafat tidak lagi membuat pengandaian-pengandaian abstrak tentang bagaimana seharusnya masyarakat bertindak, melainkan lebih menekankan bagaimana sebuah tindakan itu mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Pada titik ini, berdasarkan pertimbangan subjektif, saya menganggap neopragmatisme lebih memiliki perhatian terhadap tata pergaulan yang paling memungkinkan mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Richard Rorty, filsuf neopragmatis nomor wahid, telah menyinggung berkali-kali, bahwa pragmatisme telah menyediakan sebuah prinsip “cara bertindak” yang paling masuk akal dalam dunia yang retak-retak seperti sekarang ini.
Pemikir seperti Rorty mungkin bisa dianggap sebagai pemikir paling penting yang merubah orientasi filsafat. Filsafat, yang sejak Yunani Kuno senantiasa berorientasi “ke dalam”, ke dalam subjek reflektif yang selalu mendaku kebenaran—diserongkan ke arah filsafat yang berorientasi “ke luar”, di mana berfilsafat tidak lagi terjadi antara subjek dengan kesadarannya sendiri, tetapi antara subjek-subjek yang berusaha mencari simpul kebenaran intersubjektif melalui komunikasi intensif. Namun, pola komunikasi yang diharapkan neopragmatisme Rorty berbeda dengan pola komunikasi rasional model Habermas yang bersifat Kantian dan mengutamakan komunitas ilmiah semata. Neopragmatisme Rorty menghendaki formulasi komunikasi yang dibangun di atas perubahan personal yang melibatkan sebanyak mungkin partisipasi.
Subjek-subjek rasional Habermasian yang masih berkutat dengan prinsip-prinsip universal kebenaran, dalam istilah Rorty disebut sebagai “subjek metafisik”. Subjek metafisik yakin ada kebenaran objektif, dan filsafat bertugas membuat kategori-kategori kebenaran itu. Kebenaran menurut mereka bukan sekedar masalah kosa kata, melainkan kebenaran objektif di luar bahasa. Kebalikan dari subjek metafisik adalah “subjek ironi”. Subjek ironi menyadari bahwa pandangan dunia dan keyakinan-keyakinannya tergantung dari kosa kata akhir yang mereka pakai, namun bahwa kosa kata akhir itu terbentuk dalam sebuah proses sejarah yang kebetulan dan dapat juga berubah. Subjek ironi sadar akan ciri keserbamungkinan (contingency)keyakinan-keyakinannya bahkan yang paling mendalam, karena ia selalu sadar keserbamungkinan kosa kata akhir yang dimilikinya.
Subjek ironi meyakini tidak ada kebenaran di luar bahasa. Bahkan lebih radikal lagi, menganggap kebenaran itu tak lebih dari sekedar kosa kata yang dapat berubah setiap saat. Konsekuensinya, subjek ironi harus berani menanggung kehidupan dunia tanpa pusat, di mana kebenaran selalu tampil dalam banyak rupa. Kebenaran itu selalu bersifat nonrealis, nonesensialis, nonrepresentasionalis, dan nonfondasionalis.
Menurut Rorty (1989), kebenaran-kebenaran yang masih mendaku esensi, fondasi, dan bentuk representasi, hanya memaksakan pandangan-pandanganya dan sejauh ini justru kontraproduktif dengan upaya menemukan kebenaran itu sendiri. Karena tidak mungkin sebuah kebenaran itu dapat dicapai melalui cara menyisihkan kebenaran-kebenaran lain di luar kategori-kategori yang dimilikinya. Dengan demikian, tidak ada sikap yang paling relevan di depan wajah dunia yang serba retak ini selain merayakan pluralisme: sikap tetap percaya pada kebenaran (kosa kata akhir) namun juga mengakui bentuk-bentuk kebenaran lainnya. Pada titik inilah, Rorty menangkis tuduhan relativistik yang sering dialamatkan kepadanya.
Karena subjek ironi lebih mengorientasikan kegiatan filsafatnya ke luar daripada bersibuk dengan praduga-praduga kebenaran yang dimilikinya, maka dengan demikian subjek ironis harus sekaligus bersifat liberal. Namun Rorty menegaskan, subjek liberal yang digagasnya bukanlah subjek produk pencerahan yang masih membawa misi universalisasi nilai-nilai kebebasan, kesetaraan, dan rasionalitas. Untuk menjadi subjek liberal, kita tak perlu lagi menandaskan nilai-nilai tersebut. Kita hanya cukup berkomitmen untuk tidak berbuat kejam kepada orang lain. Dengan kata lain, jangan membuat orang lain menderita dan jangan membuat orang lain merasa terhina.
Lantas, dapatkah subjek ironis yang memahami ciri keserbamungkinan (contingency)segenap kosa kata akhir yang diyakininya—sekaligus menjadi subjek liberal yang harus menghargai orang lain dengan segenap keyakinan-keyakinan metafisik yang dianutnya? Bukankah pengertian kosa kata akhir yang bersifat serba-mungkin akan selalu menempatkan keyakinan-keyakinan orang lain sebagai sesuatu yang remeh-temeh?
Dengan persiapan yang cukup, Rorty sudah mengantisipasi jika pertanyaan di atas diajukan kepadanya. Subjek ironis-liberal tidak akan berbuat baik kepada orang lain berdasarkan keyakinan-keyakian atau pamrih-pamrih tertentu. Misalnya karena Tuhan, karena kasihan, dan lain-lain. Penilaian dan penerimaan terhadap orang lain harus berlangsung tanpa syarat. Subjek ironis-liberal bersikap ironis dalam moralitas pribadi dan bersikap liberal dalam moralitas publik. Lebih jelasnya, terhadap dirinya ia akan bersikap skeptis dan ironis, tetapi terhadap orang lain ia berkomitmen untuk tidak bersikap kejam. Dengan demikian, Rorty menyerang pandangan metafisik-liberal yang menganggap bahwa berbuat baik selalu didasari pengandaian-pengandaian metafisik tertentu.
Subjek ironis-liberal harus berani hidup di luar pengandaian-pengandaian metafisik tertentu. Lebih baik menyongsong dunia baru dengan sikap terbuka, daripada meratapi lenyapnya titik pusat itu. Justru situasi ini sangat menguntungkan secara moral, karena situasi ini melahirkan jiwa komunitas dalam diri kita. Ketika kita mengakui tiadanya titik berangkat, kita menyadari bahwa pertemuan dan percakapan dengan sesama manusia, merupakan satu-satunya sumber bimbingan. Rorty menegaskan bahwa kesadaran akan fakta ini menolong kita berpindah dari konfrontasi kepada percakapan (conversation) dalam kehidupan kita.
Di balik penolakan Rorty terhadap segala macam titik berangkat yang objektif, ia sebenarnya menolak epistemologi. Sejak pencerahan, filsafat telah dipengaruhi anggapan bahwa kita sanggup menemukan sebuah pijakan rasional bersama untuk mengikat perbedaan dan keanekaragaman pendapat manusia. Berdasarkan anggapan ini, para filsuf berusaha menggariskan kerangka universal untuk menilai wacana manusia dengan sebuah teori pengetahuan yang mampu melampaui sekat-sekat sejarah dan kebudayaan.
Sebagai penutup, coba kita hayati ungkapan Rorty yang begitu santun menggambarkan wajah dunia yang retak tanpa titik pusat—menyeru kepada kita untuk membangun etika bersama di luar ketentuan-ketentuan metafisik—dan, mengafirmasi kemajemukan dengan rasa syukur dan ketakziman. Rorty berucap: “Jika kita menyerah dan tidak lagi berharap (untuk menjadi mesin yang diprogram secara pasti), kita akan kehilangan “kenyamanan metafisik” (meminjam istilah Nietzsche), tetapi kita akan memperoleh kesadaran yang diperbarui tentang komunitas. Kelekatan kita dengan komunitas—masyarakat, tradisi politik, warisan intelektual—semakin mengental ketika kita melihat komunitas ini sebagai milik kita bersama, dan bukan hasil karya alam kodrati, bukan ditemukan sebagai salah satu dari antara karya-karya manusia lainnya. Akhirnya, kaum pragmatis menegaskan kepada kita, yang terpenting adalah loyalitas kita kepada sesama manusia lainnya untuk melawan kegelapan, bukan berharap untuk menemukan kebenaran” (The Consequence of Pragmatism, 1982).
Sifat Kebenaran Ilmiah

Karena kebenaran tidak dapat begitu saja terlepas dari kualitas, sifat, hubungan, dan nilai itu sendiri, maka setiap subjek yang memiliki pengetahuan akan memiliki persepsi dan pengertian yang amat berbeda satu dengan yang lainnya, dan disitu terlihat sifat-sifat dari kebenaran. Sifat kebenaran dapat dibedakan menjadi tiga hal, yang pertama kebenaran berkaitan dengan kualitas pengetahuan, dimana setiap pengetahuan yang dimiliki ditilik dari jenis pengetahuan yang dibangun. Pengetahuan tersebut berupa:
1. Pengetahuan biasa atau disebut ordinary knowledge atau common sense knowledge. Pengetahuan seperti ini memiliki inti kebenaran yang sifatnya subjektif, artinya amat terikat pada subjek yang mengenal.
2. Pengetahuan ilmiah, yaitu pengetahuan yang telah menetapkan objek yang khas atau spesifik dengan menerapkan metodologi yang telah mendapatkan kesepakatan para ahli sejenis. Kebenaran dalam pengetahuan ilmiah selalu mengalami pembaharuan sesuai dengan hasil penelitian yang penemuan mutakhir.
3. Pengetahuan filsafat, yaitu jenis pengetahuan yang pendekatannya melalui metodologi pemikiran filsafat, bersifat mendasar dan menyeluruh dengan model pemikiran analitis, kritis, dan spekulatif. Sifat kebenaran yang terkandung adalah absolute-intersubjektif.
4. Kebenaran pengetahuan yang terkandung dalam pengetahuan agama. Pengetahuan agama bersifat dogmatis yang selalu dihampiri oleh keyakinan yang telah tertentu sehingga pernyataan dalam kitab suci agama memiliki nilai kebenaran sesuai dengan keyakinan yang digunakan untuk memahaminya.
Yang kedua, kebenaran dikaitkan dengan sifat atau karakteristik dari bagaimana cara atau dengan alat apakah seseorang membangun pengetahuannya. Implikasi dari penggunaan alat untuk memperoleh pengetahuan akan mengakibatkan karakteristik kebenaran yang dikandung oleh pengetahuan akan memiliki cara tertentu untuk membuktikannya. Jadi jika membangun pengetahuan melalui indera atau sense experience, maka pembuktiannya harus melalui indera pula.
Dan yang terakhir, kebenaran dikaitkan atas ketergantungan terjadinya pengetahuan. Membangun pengetahuan tergantung dari hubungan antara subjek dan objek, mana yang dominan. Jika subjek yang berperan, maka jenis pengetahuan ini mengandung nilai kebenaran yang bersifat subjektif. Sebaliknya, jika objek yang berperan, maka jenis pengetahuannya mengandung nilai kebenaran yang sifatnya objektif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar