Selasa, 26 Oktober 2010

Nasib Pendidikan Nasional

Selasa, 26 Oktober 2010 - 16:10 wib

PEMERINTAHAN SBY bukan hanya telah berlangsung selama satu tahun, melainkan enam tahun. Dalam enam tahun kepemimpinan SBY, saya lebih suka melihat kinerja-kinerja pemerintahan dari bidang pendidikan.

Pendidikan penting dicermati karena pendidikan amat dasar untuk membangun bangsa ini. Semenjak menjabat sebagai presiden dari 2004 hingga kini, kebijakan dalam pendidikan seolah ada diskriminasi. Diskriminasi dalam dunia pendidikan saat ini mirip dengan kondisi pendidikan pada masa kolonialisme. Pendidikan untuk masyarakat kelas atas berbeda dengan masyarakat kelas bawah.

Memang diskriminasi itu tidak sengaja diciptakan seperti masa kolonialisme, tapi beberapa kebijakan pemerintah akhirnya seperti menciptakan diskriminasi. Pada tingkat pendidikan di sekolah, memang pada pemerintahan SBY telah ada akses pendidikan gratis di tingkat SD dan SMP untuk masyarakat. Namun hal itu sebagai konsekuensi dari diterapkannya wajib belajar sembilan tahun. Bentuk diskriminasi pendidikan di tingkat ini adalah adanya rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI/SBI).

Peraturan Pemerintah (PP) No 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan memberi peluang bagi masuknya dana masyarakat dan bantuan asing “yang tidak mengikat” untuk sekolah RSBI/SBI. Peraturan tersebut menyatakan bahwa semua SD dan SMP negeri harus membebaskan siswa dari biaya operasional sekolah, kecuali RSBI dan SBI. Pemerintah juga sudah menetapkan jumlah biaya maksimal yang boleh ditarik dari masyarakat untuk RSBI/SBI, tapi pada kenyataan besarnya biaya yang ditarik dari orang tua siswa tergantung kebijakan sekolahnya.

Jadi RSBI/SBI memang disediakan untuk masyarakat “yang mampu” memenuhi sejumlah biaya (yang kita ketahui cukup besar) yang selama ini ditetapkan sekolah. Selain itu, dalam rangka menstandarkan pelaksanaan SBI, Permendiknas 78/2010 Pasal 11 telah menetapkan sistem standar ISO sebagai sistem pengelolaan pendidikan. ISO adalah sistem pengendalian standar mutu yang pada mulanya digunakan oleh dunia industri. Dengan digunakannya ISO dalam dunia pendidikan, terjadilah industrialisasi pendidikan.

Pada tingkat perguruan tinggi, ada beberapa kebijakan sebetulnya tidak berpihak kepada masyarakat “kecil”. Kebijakan ini berupa UU BHP yang dibuat dengan mengacu pada beberapa pasal dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Alasan dibentuknya adalah otonomisasi pendidikan. Namun sesungguhnya kebijakan ini adalah bentuk pelepasan tanggung jawab pemerintah dari pengelolaan pendidikan.

Lihat saja dalam perjalanannya, beberapa perguruan tinggi yang telah berstatus BHMN menyiasati otonominya dengan berbagai cara, antara lain dengan membuka jalur khusus dalam merekrut mahasiswa. Jalur ini dibuka untuk calon mahasiswa dengan kemampuan finansial tinggi. UU BHP memang telah ditolak oleh MK pada 31 Maret lalu. Namun upaya pelepasan tanggung jawab pemerintah tidak berhenti sampai di situ. Masih ada kebijakan BLU. Kebijakan ini sebetulnya adalah tahap yang harus dilalui PTN sebelum berubah menjadi BHMN.

Memang aneh jika tujuan menjadi BHMN sudah tidak ada, tetapi sistem BLU ini masih terus dikembangkan. Pembentukan BLU itu merujuk pada Undang-Undang Keuangan Negara, Undang-Undang Perbendaharaan Negara, serta Undang-Undang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Lalu di perguruan tinggi,Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2005 tentang Pola Pengelolaan Keuangan BLU (PK-BLU) sebagai payung hukum BLU.

Konsep BLU pada prinsipnya memberikan keleluasaan pada instansi pemerintah penyedia layanan dalam melakukan pengelolaan, khususnya pengelolaan keuangan. Jadi sistem ini mirip seperti sistem keuangan Transjakarta atau rumah sakit pemerintah. Institusi pendidikan pun ketika menjadi BLU diberi keleluasaan mencari pemasukan keuangan.

Kebijakan-kebijakan pendidikan pemerintah ini sangat bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 31 yang menyatakan negara diwajibkan untuk menyelenggarakan pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya untuk sebagian rakyat. Ini juga bertentangan dengan pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa tujuan bangsa Indonesia salah satunya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Ya, inilah nasib pendidikan nasional kita.(*)

1 komentar:

  1. bismillah tsumma al-hamdu lillah tsumma al-shalatu wa-ssalamu ala rosulillah-Muhammad ibni Abdillah, wa ba'du....
    Mencermati masalah pendidikan dengan kebijakan pemerintah Indonesia saat ini, secara pribadi saya sangat kecewa sekali. Kekecewaan ini timbul dari ketidak adilan yg dibuat oleh pihak yang berwenang; dalam hal ini pihak Kementrian Pendidikan Nasional ( Departemen Pendidikan Nasional)dan jajarannya mulai dari pusat sampai ke tingkat daerah. Dari sekian banyak sebab kekecewaan saya, satu sebab saja yang akan coba saya urai, mudah2an ada manfaatnya.
    Pokus yang saya kritisi adalah "CARA PENERIMAAN SISWA UNTUK SEKOLAH-SEKOLAH NEGERI"
    Kita mengetahui bahwa sistim yang ada saat ini khususnya di Kota Tasikmalaya dan Kabupaten Tasikmalaya, penerimaan siswa tidak mencerminakan azaz keadilan, menurut saya justru mengedepankan kedloliman, sehingga dampaknya sangat buruk dan sangat banyak. bagaimana tidak; riwayat pendirian setiap sekolah negeri, yang awalnya diperuntukkan untuk masyarakat di wilayah sekolah tersebut, saat ini sekolah tersebut didagangkan untuk siswa-siswa yang bukan wilayahnya. sehingga masyarakat yang memiliki hak menyekolahkan anaknya disitu terabaikan.
    SMU Negeri unggulan Tasikmalaya sangat bangga dengan berbagai prestasinya, menurut saya itu hal yang wajar. bagaimana tidak,.. yang masuk ke sekolah ini adalah anak-anak cerdas di SLTP-SLTP daerahnya. Dan rata-rata mereka adalah siswa-siswa terbaik. Jadi bukan hasil pendidikan dan pengajaran guru-guru SMU tersebut.
    Lalu kita bandingkan dengan SMU yang ada di Kecamatan Taraju (contoh), Siswa2 SLTP Kec Taraju yg cerdas masuk di SMU unggulan, sisanya siswa-siswa bodoh masuk di SMU ini, ditambah siswa pendatang dari Kota dan Kab. Tasikmalaya yg tdk diterima di wilayahnya karena bodoh dan nakal. Kalaulah kemudian SMU ini diangap tidak baik, itu hal yang wajar. dan bukan berarti para gurunya yang tidak bisa mengajar. wong IQ siswanya rata-rat jongkok. ya hasilnya begitu.
    Apalagi kalau dilihat dari sisi sarana dan pra sarana pendidikan. saya tidak melihat pemerataan distribusi sarana pendidikan sampai ke tingkat kecamatan. makanya wajar sekali kalau hasil pendidikan sekoah yang komplit sarananya akan lebih bagus dari sekolah-sekolah yang ala-kadarnya.
    Dampak lain dari sistim ini adalah biaya masyarakat menyekolahkan anak bertambah. Biaya transportasi, biaya kos dan lain-lain. Orang Taraju sekolahnya di Tasikmalaya, orang dari Singaparna sekolahnya di Taraju, semuanya tidak gratis.
    Menurut saya sunguh baik masyarakat sekitar sekolah ungulan itu, mereka patut di puji, sekalipun haknya untuk menyekolahkan anak di SMU itu di abaikan, dia menerima, mengalah,. sampai-sampai anaknya disekolahkan di tempat lain. Padahal dulu ketika SMU itu baru jadi kakeknyalah yang menjadi salah satu murid pertamanya, semua saudaranya sekolah di situ juga.
    Itu SMU Negeri, bukan SMU swasta. dibuat menggunakan anggaran negara, uangnya dari masyarakat. katanya dulu di bangun sebagai jawaban kebutuhan masyarakat disitu, katanya juga daripada pergi ke daerah lain kebijakan penguasa saat itu memfasilitasi dengan sekolah itu. Sunguh baik penguasa dahulu,....
    begitulah komentar saya, walaupun tidak terpokus pada tulisan diatas, tapi intinya masih dalam wilayah pendidikan. mudah2an tulisan ini jadi wacana yang baik untuk disampaikan kepada pihak yang berwenang.
    alhamdu lillahi robbil alamin.

    BalasHapus