Jumat, 15 April 2011

Perbedaan Ilmu dan Pengetahuan

Sebelum penjabaran tentang perbedaan pengetahuan dan ilmu pengetahuan, perlu diuraikan tentang pengertian pengetahuan dan ilmu pengetahuan. Tujuannya adalah untuk memudahkan dalam mendalami perbedaan antara pengetahuan dan ilmu pengetahuan.
Pengetahuan
Secara etimologi pengetahuan berasal dari kata dalam bahasa Inggris yaitu knowledge. Dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan bahwa difinisi pengetahuan adalah kepercayaan yang benar (knowledge is justified true belief).
Sedangkan secara terminologi definisi pengetahuan ada beberapa definisi.
1. Pengetahuan adalah apa yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu. Pekerjaan tahu tersebut adalah hasil dari kenal, sadar, insaf, mengerti dan pandai. Pengetahuan itu adalah semua milik atau isi pikiran. Dengan demikian pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu.
2. Pengetahuan adalah proses kehidupan yang diketahui manusia secara langsung dari kesadarannya sendiri. Dalam hal ini yang mengetahui (subjek) memiliki yang diketahui (objek) di dalam dirinya sendiri sedemikian aktif sehingga yang mengetahui itu menyusun yang diketahui pada dirinya sendiri dalam kesatuan aktif.
3. Pengetahuan adalah segenap apa yang kita ketahui tentang suatu objek tertentu, termasuk didalamnya ilmu, seni dan agama. Pengetahuan ini merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung dan tak langsung memperkaya kehidupan kita.


Pada dasarnya pengetahuan merupakan hasil tahu manusia terhadap sesuatu, atau segala perbuatan manusia untuk memahami suatu objek tertentu. Pengetahuan dapat berwujud barang-barang baik lewat indera maupun lewat akal, dapat pula objek yang dipahami oleh manusia berbentuk ideal, atau yang bersangkutan dengan masalah kejiwaan.
Pengetahuan adalah keseluruhan pengetahuan yang belum tersusun, baik mengenai matafisik maupun fisik. Dapat juga dikatakan pengetahuan adalah informasi yang berupa common sense, tanpa memiliki metode, dan mekanisme tertentu. Pengetahuan berakar pada adat dan tradisi yang menjadi kebiasaan dan pengulangan-pengulangan. Dalam hal ini landasan pengetahuan kurang kuat cenderung kabur dan samar-samar. Pengetahuan tidak teruji karena kesimpulan ditarik berdasarkan asumsi yang tidak teruji lebih dahulu. Pencarian pengetahuan lebih cendrung trial and error dan berdasarkan pengalaman belaka (Supriyanto, 2003).
Ruang Lingkup pengetahuan secara ontologi, epistomologi dan aksiologi ada tiga yaitu Ilmu, Agama dan Seni pada skema berikut :


Ilmu
Pada prinsipnya ilmu merupakan usaha untuk mengorganisir dan mensitematisasikan sesuatu. Sesuatu tersebut dapat diperoleh dari pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari. Namun sesuatu itu dilanjutkan dengan pemikiran secara cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai metode.
Ilmu dapat merupakan suatu metode berfikir secara objektif (objective thinking), tujuannya untuk menggambarkan dan memberi makna terhadap dunia faktual. Ini diperoleh melalui observasi, eksperimen, dan klasifikasi. Analisisnya merupakan hal yang objektif dengan menyampingkan unsur pribadi, mengedepankan pemikiran logika, netral (tidak dipengaruhi oleh kedirian atau subjektif). Ilmu sebagai milik manusia secara komprehensif yang merupakan lukisan dan keterangan yang lengkap dan konsisten mengenai hal-hal yang dipelajarinya dalam ruang dan waktu sejauh jangkauan logika dan dapat diamati panca indera manusia.
Ilmu adalah kumpulan pengetahuan. Namun bukan sebaliknya kumpulan ilmu adalah pengetahuan. Kumpulan pengetahuan agar dapat dikatakan ilmu harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang dimaksudkan adalah objek material dan objek formal. Setiap bidang ilmu baik itu ilmu khusus maupun ilmu filsafat harus memenuhi ke dua objek tersebut. Ilmu merupakan suatu bentuk aktiva yang dengan melakukannya umat manusia memperoleh suatu lebih lengkap dan lebih cermat tentang alam di masa lampau, sekarang dan kemudian serta suatu kemampuan yang meningkat untuk menyesuaikan dirinya.
Ada tiga dasar ilmu yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Dasar ontologi ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca indera manusia. Jadi masih dalam jangkauan pengalaman manusia atau bersifat empiris. Objek empiris dapat berupa objek material seperti ide-ide, nilai-nilai, tumbuhan, binatang, batu-batuan dan manusia itu sendiri.
Pada umumnya metodologi yang digunakan dalam ilmu kealaman disebut siklus-empirik. Ini menunjukkan pada dua macam hal yang pokok, yaitu siklus yang mengandaikan adanya suatu kegiatan yang dilaksanakan berulang-ulang, dan empirik yang menunjukkan pada sifat bahan yang diselidiki, yaitu hal-hal yang dalam tingkatan pertama dapat diregistrasi secara indrawi. Metode siklus-empirik mencakup lima tahapan yang disebut observasi, induksi, deduksi, eksperimen, dan evaluasi. Sifat ilmiahnya terletak pada kelangsungan proses yang runut dari segenap tahapan prosedur ilmiah tersebut, meskipun pada prakteknya tahap-tahap kerja tersebut sering kali dilakukan secara bersamaan (Soeprapto, 2003).
Ilmu dalam usahanya untuk menyingkap rahasia-rahasia alam haruslah mengetahui anggapan-anggapan kefilsafatan mengenai alam tersebut. Penegasan ilmu diletakkan pada tolok ukur dari sisi fenomenal dan struktural.
Dimensi Fenomenal.
Dalam dimensi fenomenal ilmu menampakkan diri pada hal-hal berikut :
1. Masyarakat yaitu suatu masyarakat yang elit yang dalam hidup kesehariannya sangat konsern pada kaidah-kaidah universaI, komunalisme, disinterestedness, dan skeptisme yang terarah dan teratur
2. Proses yaitu olah krida aktivitas masyarakat elit yang melalui refleksi, kontemplasi, imajinasi, observasi, eksperimentasi, komparasi, dan sebagainya tidak pernah mengenal titik henti untuk mencari dan menemukan kebenaran ilmiah.
3. Produk yaitu hasil dari aktivitas tadi berupa dalil-dalil, teori, dan paradigma-paradigma beserta hasil penerapannya, baik yang bersifat fisik, maupun non fisik.

Dimensi Struktural
Dalam dimensi struktural ilmu tersusun atas komponen-komponen berikut
1. Objek sasaran yang ingin diketahui
2. Objek sasaran terus menerus dipertanyakan tanpa mengenal titik henti
3. Ada alasan dan dengan sarana dan cara tertentu objek sasaran tadi terus menerus dipertanyakan
4. Temuan-temuan yang diperoleh selangkah demi selangkah disusun kembali dalam satu kesatuan sistem.
Ilmu dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu Ilmu Pengetahuan Abstrak, Ilmu Pengetahuan Alam dan Ilmu Pengetahuan Humanis.
Secara rinci seperti skema di bawah ini.


Berdasarkan skema di atas terlihat bahwa ilmu melingkupi tiga bidang poko yaitu ilmu pengetahuan abstrak, ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan humanis. Ilmu pengetahuan abstrak meliputi metafisika, logika, dan matematika. Ilmu pengetahuan alam meliputi Fisika, kimia, biologi, kedokteran, geografi, dan lain sebagainya. Ilmu pengetahuan humanis meliputi psikologi, sosiologi, antropologi, hukum dan lain sebagainya.

MEMBANGUN PERADABAN

MEMBANGUN PERADABAN


PENGETAHUAN MANUSIA DAN KEBENARAN METAFISIK (Menurut John Locke dan A.N. Whitehead)
Pendahuluan
Mengajukan pertanyaan kritis merupakan ciri yang sangat melekat dalam penulusuran filsafati. Macam-macam persoalan selalu ditanggapi dengan mengajukan pertanyaan kritis. Salah satu masalah yang sampai saat ini masih sangat hangat dibicarakan adalah tentang kebenaran. Dalam sejarah filsafat, telah banyak filsuf yang mempertanyakan apa itu kebenaran. Kebenaran menjadi tema yang merangsang perkembangan ide-ide filsafat. Hal ini terjadi karena diskusi tentang kebenaran merangkul keseluruhan totalitas di dalamnya sehingga tidak ada sesuatupun yang terlewatkan. Persoalan tentang apa itu kebenaran tidak mungkin dapat dipisahkan dari pengaruh rasio atau akal budi manusia. Kebenaran metafisik atau kebenaran yang dimiliki oleh pengada selalu ditegaskan oleh kerja akal budi. Bertolak dari pemahaman yang demikian, dalam karya tulis ini akan dibicarakan konsep tentang pengetahuan manusia menurut John Lock dan A.N. Whitehead sebagai penegasan bahwa antara kerja rasio manusia yang menghasilkan pengetahuan dan konsep kebenaran tidak mungkin dipisahkan.

I. Kebenaran Metafisik
Yang ada memiliki ciri atau sifat transendental. Penegasan itu menyertakan pertanyaan: apa yang menjadi ciri transendental dari yang ada? Ada beberapa ciri transendental dari yang ada. Ciri-ciri transendental itu juga sekaligus menjadi unsur konstitutif dari yang ada. Pada bagian ini, pusat perhatian adalah kebenaran sebagai salah satu ciri transendental dari yang ada. Penelusuran ini dapat dimulai dari penegasan: yang ada ialah bahwa yang ada itu benar. Yang ada dalam hubungan dengan intelek atau akal budi, menjelma menjadi kebenaran. Karena itu kebenaran merupakan atribut atau sifat dari yang ada dalam kaitan dengan pemahaman. Dengan demikian, kebenaran dapat dikatakan sebagai atribut yang relatif sifatnya.[1]
Kebenaran tidak berarti jika dilepaskan dari subjek yang mengetahui. Hanya yang tiada yang tidak mempunyai hubungan dengan kebenaran. Kebenaran hanya mungkin ada jika sesuatu itu sungguh-sungguh bereksistensi secara riil. Jika sesuatu itu tidak ada, maka sesuatu itu tidak dapat dikatakan sebagai yang benar. Artinya, di dalamnya tidak terkandung kebenaran.[2] Dengan demikian, apa yang dikonsepkan oleh Aquinas bahwa kebenaran merupakan adequatio rei et intellectus (kesesuaian antara pikiran dengan hal) menjadi relevan.[3]
Kebenaran dalam metafisika adalah yang ada sejauh berhadapan dengan akal budi atau pikiran manusia. Kebenaran selalu berhubungan langsung dengan akal budi yang mengetahuinya. Artinya, kebenaran tersaji di hadapan akal budi untuk ditangkap dan dipahami. Bertolak dari pemahaman yang demikian maka dapat ditegaskan bahwa kebenaran tidak dapat dipisahkan dari kapasitas rasional manusia. Kebenaran selalu menyangkut relasi antara realitas dan rasio manusia. Artinya, kebenaran selalu berhubungan dengan pengetahuan manusia.

II. Konsep Tentang Pengetahuan
Telah ditegaskan pada bagian sebelumnya yakni kebenaran sebagai ciri transendental dari yang ada selalu tidak bisa dipisahkan dari kapasitas rasionalitas manusia. Hal ini terjadi karena kebenaran selalu menyangkut relasi antara realitas dan rasio manusia. Artinya, kebenaran selalu berhubungan dengan aktivitas rasional dari akal budi yang menghasilkan pengetahuan. Oleh karena itu, pada bagian ini akan disoroti dua pandangan dari filsuf yang berbeda tentang apa itu pengetahuan manusia dan hubungannya dengan konsep kebenaran.

A. John Locke[4]: Ide-ide dan pengetahuan
Locke memulai refleksinya tentang pengetahuan manusia dengan mengajukan pertanyaan: “Dari mana pengetahuan manusia itu berasal?” Locke menegaskan bahwa pengetahuan manusia berasal dari pengalaman inderawi. Pengalaman inderawi memungkinkan manusia memiliki ide-ide sederhana. Ide-ide sederhana tersebut dapat menjadi ide kompleks jika sudah ada kombinasi yang melibatkan beberapa dari ide-ide sederhana tersebut. Kombinasi dari ide-ide sederhana itu misalnya “sebab”, “relasi”, “syarat”, dan sebagainya. Ide-ide dalam akal budi manusia itu berawal dari pencerapan inderawi. Ada dua bentuk sumber pengetahuan manusia menurutnya, yaitu sensasi dan refleksi. Dua hal ini menjadi sumber dari ide-ide sederhana.[5]
Ide-ide yang dimaksudkan Locke didapatkan melalui cara yang bervariasi atau melalui indera yang berbeda. Ide-ide yang diterima melalui panca indera itu dapat sampai pada akal budi dan menggerakkanya. Dan, akal budi dapat mengembangkan ide-ide yang ada itu melalui proses penalaran dan pertimbangan. Itulah yang disebut Locke sebagai sensasi.
Refleksi meliputi aktivitas seperti berpikir, meragukan, percaya, bernalar, mengetahui, menghendaki, dan semua aktivitas yang menghasilkan ide-ide yang berbeda dari apa yang diperoleh melalui panca indera. Dengan demikian, menjadi jelaslah bahwa apa yang dimaksudkan oleh Locke sebagai ide-ide tidak saja tentang hal-hal yang berada di luar akal budi (eksternal) tetapi juga refleksi dalam akal budi (internal).[6]
Locke memberi perhatian yang sangat besar pada usaha manusia untuk mengenal. Baginya yang paling penting bukanlah memberi pandangan metafisis tentang tabiat roh dan benda. Locke menolak rasionalisme yang menganggap bahwa ide-ide dan asas-asas pertama sebagai bawaan manusia. Menurutnya, segala pengetahuan datang dari pengalaman yang didapatkan.[7] Locke melihat bahwa pengetahuan terbatas pada ide-ide. Pekerjaan roh manusia terbatas pada memberi sebutan kepada ide-ide tunggal, menggabung-gabunggkannya, merangkumkannya, dan menjadikannya bersifat umum.

B. A.N.Whitehead: Pengetahuan Intelektif dan Kebenaran
Definisi pengetahuan yang diterima secara luas mengatakan bahwa pengetahuan adalah keyakinan mengenai suatu objek yang telah dibuktikan kebenarannya.[8] Penegasan ini membawa konsekuensi bahwa kita hanya bisa mempunyai pengetahuan mengenai sesuatu yang benar.[9]
Bagi Whitehead, pengetahuan merupakan kegiatan intelektual yang melibatkan baik objek maupun intelegensi manusia. Objek pengetahuan adalah segala sesuatu yang ada. Kenyataan lain bahwa budi manusia bersifat berbatas. Namun demikian, objek dari pengetahuan menjadi tidak terbatas, karena budi manusia ingin menjangkau segala sesuatu baik dalam hal macam-macam jenis objeknya yang mungkin ada maupun segala aspek dari masing-masing objek. Aspek-aspek ini bisa dimengerti sebagai aspek internal dan eksternal. Pengetahuan internal dan eksternal itu sifatnya saling mengandaikan dan tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain.
Whitehead melihat bahwa munculnya entitas aktual selalu berhubungan dengan prehensi. Setiap diri yang melakukan penangkapan terhadap unsur-unsur eksternal, secara langsung dibentuk juga dengan hasil tangkapannya itu. Prehensi positif baginya adalah rasa (feeling) sedangkan prehensi negatif berarti penyingkiran. Munculnya entitas aktual selalu disebabkan dari proses konkresi dari entitas-entitas yang lain.

III. Kesimpulan: Pengetahuan dan Kebenaran Dari Yang Ada
Penegasan yang paling penting adalah sesuatu dikatakan benar jika sesuatu itu mewujudkan dalam dirinya tipe berada tertentu. Tipe berada itu mempunyai unsur-unsur tertentu dan memiliki suatu kepastian yang tidak tergoyahkan. Tipe berada itu merupakan produk dari akal budi, atau merupakan ide yang bereksistensi di dalam rasio manusia. Kebenaran selalu berhubungan dengan tipe yang ideal. Tipe yang ideal tersebut adalah tipe yang dipikirkan dalam akal budi manusia.[10]
John Locke dan Whitehead dalam konsepnya tentang pengetahuan manusia telah mengkonfirmasikan bahwa apa yang ideal dalam akal budi manusia merupakan tipe yang dipikirkan. Asalnya adalah dunia eksternal yaitu pengalaman inderawi. Hal itu menegaskan bahwa sesungguhnya apa yang dipikirkan, tipe yang ideal itu sungguh-sunguh benar bereksistensi. Karena ia sungguh riil bereksistensi maka ide tersebut sangat melekat pada yang ada secara nyata. Hal itulah yang memungkinkan sesuatu dapat dikenal sebagaimana adanya dan dapat dijelaskan. Artinya, semua yang ada secara riil (dalam akal budi manusia yang telah melewati pegolahan setelah dicerap secara inderawi) adalah benar. Kebenaran terkandung dalam setiap yang ada. Pengetahuan manusia tentang yang ada hanya mungkin sejauh yang ada itu bereksistensi dan mengandung kebenaran di dalam dirinya.


**********





Daftar Pustaka
Bagus, Lorens. “Kebenaran.” Dalam Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 2002.
Bagus, Lorens. Metafisika. Jakarta: Gramedia, 1991.
Bakker, Anton. Ontologi Atau Metafisika: Filsafat Pengadan Dan Dasar Kenyataan. Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Bogliolo, Luigi. Metaphysics. Bangalore: Teological India University, 1987.
Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius, 1980..
Hadi, Hardono. Jati Diri Manusia Berdasar Filsafat Organisme Whitehead. Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Hamersma, Harry. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: Gramedia, 1983.
Keraf, Sonny dan Mikhael Dua. Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
R. Aa., “Locke, John.” Dalam The New Encyclopedia Britannica. Diedit oleh Jacob E. Safra. Chicago: Encyclopedia Britannica Inc., 2002.





________________________________________
[1] Lorens Bagus, Metafisika (Jakarta: Gramedia, 1991), hlm. 86.
[2] Bdk. Luigi Bogliolo, Metaphysics (Bangalore: Teological India University, 1987), hlm. 25.

[3] Bdk. juga dengan penegasan Bertrand Russell bahwa “kebenaran adalah kesesuaian (correspondence), antara keyakinan dan kenyataan”. Kesesuaian di sini menunjuk kepada hubungan antara pikiran dan kenyataan yang membentuk kebenaran. Terkutip dalam Hardono Hadi, Jati Diri Manusia Berdasar Filsafat Organisme Whitehead (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 146.

[4] Locke (1632-1704) adalah seorang empirist berkebangsaan Inggris. Menurutnya, segala sesuatu dalam pikiran manusia berasal dari pengalaman inderawi dan tidak dari akal budi. Bagi Locke, akal budi dapat diandaikan seperti sehelai kertas putih kosong yang baru dapat diisi melalui pengalaman inderawi. Lih. Harry Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern (Jakarta: Gramedia, 1983), hlm. 18-20.
[5] “...It is simple ideas alone that are given in sensation and reflection. Out of them the mind form complex ideas...” R. Aa., “Locke, John,” dalam The New Encyclopedia Britannica, diedit oleh Jacob E. Safra (Chicago: Encyclopedia Britannica Inc., 2002).

[6] Ibid.

[7] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hlm. 36.

[8] Bdk. Konsep pengetahuan yang dikembangkan oleh John Locke, ataupun oleh Descartes, David Hume dan Immanuel Kant.

[9] Hardono Hadi, Jati Diri Manusia Berdasar Filsafat Organisme Whitehead (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 141.
[10] Bdk. Lorens Bagus, Metafisika (Jakarta: Gramedia, 1991), hlm. 93.
Wajah Kebenaran Post-Metafisik
Afthonul Afif, Mahasiswa Psikologi Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta
Pemikiran filsafat di era posmodern, menunjukkan perhatian yang besar terhadap posisi bahasa. Bahasa tidak sekedar dianggap sebagai alat bagi kegitan berfilsafat, tetapi sudah menjadi tujuan dari kegiatan itu sendiri. Tidak ada lagi kebenaran ontologik yang melampaui bahasa. Kebenaran hanyalah semacam kemungkinan-kemungkinan yang lahir dari bentuk-bentuk permainan bahasa. Pembalikan ke arah bahasa (linguistic turn) ini menandai berakhirnya kejayaan filsafat yang begitu berhasrat memproduksi gagasan-gagasan absolut bagi tercapainya pemahaman semesta yang tuntas dan padu. Satu abad yang lalu, filsafat masih berkutat dengan tema-tema besar seperti “akal budi”, “subjek rasional”, “roh”, dan “kesadaran”. Namun, sekarang, di era posmodern, filsafat menempatkan “bahasa” sebagai pusat kajiannya.
Kecenderungan semacam itu bukan berarti filsafat telah mengalami frustasi—kemudian kehilangan kekuatannya dalam memproduksi gagasan-gagasan yang mendasar. Namun, agaknya filsafat mulai menyadari dan menginsyafi bahwa dirinya selama ini telah membuat kesalahan serius dengan melihat dunia dalam ketunggalan manifestasi dan mengabaikan kejamakan nuansanya. Konsekuensi dari pertobatan ini mungkin mengkhawatirkan—karena telah lahir gambaran dunia baru yang serba retak, tak pernah selesai, dan tak bisa dipahami sepenuhnya. Namun di sisi lain, hal ini juga merekahkan kembali harapan—harapan bagi berpendarnya hak-hak yang selama ini tersisihkan. Dengan kata lain, filsafat semakin arif dan akomodatif—juga semakin realistis.
Filsafat yang rendah hati itu lahir dengan nama-nama baru, seperti posstrukturalisme, hermeneutika, dan neopragmatisme. Posstrukturalisme yang “bengal” dan “urakan” itu telah meruntuhkan struktur-struktur pemahaman dan kebenaran yang terlihat solid dan padu. Hermeneutika dengan relatif lebih anggun menampilkan wajah kebenaran dalam rantai tafsir yang tiada putusnya. Dan neopragmatisme, begitu gigih menyerukan solidaritas meskipun harus bertumpu pada pijakan yang tak satu.
Namun, kelak, bukan hanya jenis filsafat yang lincah melayangkan koreksi, tapi mungkin jenis filsafat yang bersedia menyapa peristiwa-peristiwa aktual sehari-hari saja yang akan mendapatkan tempat di hati masyarkat. Artinya, filsafat tidak lagi mengisolasi dirinya dari praktik-praktik komunikasi sehari-hari. Filsafat tidak lagi membuat pengandaian-pengandaian abstrak tentang bagaimana seharusnya masyarakat bertindak, melainkan lebih menekankan bagaimana sebuah tindakan itu mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Pada titik ini, berdasarkan pertimbangan subjektif, saya menganggap neopragmatisme lebih memiliki perhatian terhadap tata pergaulan yang paling memungkinkan mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Richard Rorty, filsuf neopragmatis nomor wahid, telah menyinggung berkali-kali, bahwa pragmatisme telah menyediakan sebuah prinsip “cara bertindak” yang paling masuk akal dalam dunia yang retak-retak seperti sekarang ini.
Pemikir seperti Rorty mungkin bisa dianggap sebagai pemikir paling penting yang merubah orientasi filsafat. Filsafat, yang sejak Yunani Kuno senantiasa berorientasi “ke dalam”, ke dalam subjek reflektif yang selalu mendaku kebenaran—diserongkan ke arah filsafat yang berorientasi “ke luar”, di mana berfilsafat tidak lagi terjadi antara subjek dengan kesadarannya sendiri, tetapi antara subjek-subjek yang berusaha mencari simpul kebenaran intersubjektif melalui komunikasi intensif. Namun, pola komunikasi yang diharapkan neopragmatisme Rorty berbeda dengan pola komunikasi rasional model Habermas yang bersifat Kantian dan mengutamakan komunitas ilmiah semata. Neopragmatisme Rorty menghendaki formulasi komunikasi yang dibangun di atas perubahan personal yang melibatkan sebanyak mungkin partisipasi.
Subjek-subjek rasional Habermasian yang masih berkutat dengan prinsip-prinsip universal kebenaran, dalam istilah Rorty disebut sebagai “subjek metafisik”. Subjek metafisik yakin ada kebenaran objektif, dan filsafat bertugas membuat kategori-kategori kebenaran itu. Kebenaran menurut mereka bukan sekedar masalah kosa kata, melainkan kebenaran objektif di luar bahasa. Kebalikan dari subjek metafisik adalah “subjek ironi”. Subjek ironi menyadari bahwa pandangan dunia dan keyakinan-keyakinannya tergantung dari kosa kata akhir yang mereka pakai, namun bahwa kosa kata akhir itu terbentuk dalam sebuah proses sejarah yang kebetulan dan dapat juga berubah. Subjek ironi sadar akan ciri keserbamungkinan (contingency)keyakinan-keyakinannya bahkan yang paling mendalam, karena ia selalu sadar keserbamungkinan kosa kata akhir yang dimilikinya.
Subjek ironi meyakini tidak ada kebenaran di luar bahasa. Bahkan lebih radikal lagi, menganggap kebenaran itu tak lebih dari sekedar kosa kata yang dapat berubah setiap saat. Konsekuensinya, subjek ironi harus berani menanggung kehidupan dunia tanpa pusat, di mana kebenaran selalu tampil dalam banyak rupa. Kebenaran itu selalu bersifat nonrealis, nonesensialis, nonrepresentasionalis, dan nonfondasionalis.
Menurut Rorty (1989), kebenaran-kebenaran yang masih mendaku esensi, fondasi, dan bentuk representasi, hanya memaksakan pandangan-pandanganya dan sejauh ini justru kontraproduktif dengan upaya menemukan kebenaran itu sendiri. Karena tidak mungkin sebuah kebenaran itu dapat dicapai melalui cara menyisihkan kebenaran-kebenaran lain di luar kategori-kategori yang dimilikinya. Dengan demikian, tidak ada sikap yang paling relevan di depan wajah dunia yang serba retak ini selain merayakan pluralisme: sikap tetap percaya pada kebenaran (kosa kata akhir) namun juga mengakui bentuk-bentuk kebenaran lainnya. Pada titik inilah, Rorty menangkis tuduhan relativistik yang sering dialamatkan kepadanya.
Karena subjek ironi lebih mengorientasikan kegiatan filsafatnya ke luar daripada bersibuk dengan praduga-praduga kebenaran yang dimilikinya, maka dengan demikian subjek ironis harus sekaligus bersifat liberal. Namun Rorty menegaskan, subjek liberal yang digagasnya bukanlah subjek produk pencerahan yang masih membawa misi universalisasi nilai-nilai kebebasan, kesetaraan, dan rasionalitas. Untuk menjadi subjek liberal, kita tak perlu lagi menandaskan nilai-nilai tersebut. Kita hanya cukup berkomitmen untuk tidak berbuat kejam kepada orang lain. Dengan kata lain, jangan membuat orang lain menderita dan jangan membuat orang lain merasa terhina.
Lantas, dapatkah subjek ironis yang memahami ciri keserbamungkinan (contingency)segenap kosa kata akhir yang diyakininya—sekaligus menjadi subjek liberal yang harus menghargai orang lain dengan segenap keyakinan-keyakinan metafisik yang dianutnya? Bukankah pengertian kosa kata akhir yang bersifat serba-mungkin akan selalu menempatkan keyakinan-keyakinan orang lain sebagai sesuatu yang remeh-temeh?
Dengan persiapan yang cukup, Rorty sudah mengantisipasi jika pertanyaan di atas diajukan kepadanya. Subjek ironis-liberal tidak akan berbuat baik kepada orang lain berdasarkan keyakinan-keyakian atau pamrih-pamrih tertentu. Misalnya karena Tuhan, karena kasihan, dan lain-lain. Penilaian dan penerimaan terhadap orang lain harus berlangsung tanpa syarat. Subjek ironis-liberal bersikap ironis dalam moralitas pribadi dan bersikap liberal dalam moralitas publik. Lebih jelasnya, terhadap dirinya ia akan bersikap skeptis dan ironis, tetapi terhadap orang lain ia berkomitmen untuk tidak bersikap kejam. Dengan demikian, Rorty menyerang pandangan metafisik-liberal yang menganggap bahwa berbuat baik selalu didasari pengandaian-pengandaian metafisik tertentu.
Subjek ironis-liberal harus berani hidup di luar pengandaian-pengandaian metafisik tertentu. Lebih baik menyongsong dunia baru dengan sikap terbuka, daripada meratapi lenyapnya titik pusat itu. Justru situasi ini sangat menguntungkan secara moral, karena situasi ini melahirkan jiwa komunitas dalam diri kita. Ketika kita mengakui tiadanya titik berangkat, kita menyadari bahwa pertemuan dan percakapan dengan sesama manusia, merupakan satu-satunya sumber bimbingan. Rorty menegaskan bahwa kesadaran akan fakta ini menolong kita berpindah dari konfrontasi kepada percakapan (conversation) dalam kehidupan kita.
Di balik penolakan Rorty terhadap segala macam titik berangkat yang objektif, ia sebenarnya menolak epistemologi. Sejak pencerahan, filsafat telah dipengaruhi anggapan bahwa kita sanggup menemukan sebuah pijakan rasional bersama untuk mengikat perbedaan dan keanekaragaman pendapat manusia. Berdasarkan anggapan ini, para filsuf berusaha menggariskan kerangka universal untuk menilai wacana manusia dengan sebuah teori pengetahuan yang mampu melampaui sekat-sekat sejarah dan kebudayaan.
Sebagai penutup, coba kita hayati ungkapan Rorty yang begitu santun menggambarkan wajah dunia yang retak tanpa titik pusat—menyeru kepada kita untuk membangun etika bersama di luar ketentuan-ketentuan metafisik—dan, mengafirmasi kemajemukan dengan rasa syukur dan ketakziman. Rorty berucap: “Jika kita menyerah dan tidak lagi berharap (untuk menjadi mesin yang diprogram secara pasti), kita akan kehilangan “kenyamanan metafisik” (meminjam istilah Nietzsche), tetapi kita akan memperoleh kesadaran yang diperbarui tentang komunitas. Kelekatan kita dengan komunitas—masyarakat, tradisi politik, warisan intelektual—semakin mengental ketika kita melihat komunitas ini sebagai milik kita bersama, dan bukan hasil karya alam kodrati, bukan ditemukan sebagai salah satu dari antara karya-karya manusia lainnya. Akhirnya, kaum pragmatis menegaskan kepada kita, yang terpenting adalah loyalitas kita kepada sesama manusia lainnya untuk melawan kegelapan, bukan berharap untuk menemukan kebenaran” (The Consequence of Pragmatism, 1982).
Sifat Kebenaran Ilmiah

Karena kebenaran tidak dapat begitu saja terlepas dari kualitas, sifat, hubungan, dan nilai itu sendiri, maka setiap subjek yang memiliki pengetahuan akan memiliki persepsi dan pengertian yang amat berbeda satu dengan yang lainnya, dan disitu terlihat sifat-sifat dari kebenaran. Sifat kebenaran dapat dibedakan menjadi tiga hal, yang pertama kebenaran berkaitan dengan kualitas pengetahuan, dimana setiap pengetahuan yang dimiliki ditilik dari jenis pengetahuan yang dibangun. Pengetahuan tersebut berupa:
1. Pengetahuan biasa atau disebut ordinary knowledge atau common sense knowledge. Pengetahuan seperti ini memiliki inti kebenaran yang sifatnya subjektif, artinya amat terikat pada subjek yang mengenal.
2. Pengetahuan ilmiah, yaitu pengetahuan yang telah menetapkan objek yang khas atau spesifik dengan menerapkan metodologi yang telah mendapatkan kesepakatan para ahli sejenis. Kebenaran dalam pengetahuan ilmiah selalu mengalami pembaharuan sesuai dengan hasil penelitian yang penemuan mutakhir.
3. Pengetahuan filsafat, yaitu jenis pengetahuan yang pendekatannya melalui metodologi pemikiran filsafat, bersifat mendasar dan menyeluruh dengan model pemikiran analitis, kritis, dan spekulatif. Sifat kebenaran yang terkandung adalah absolute-intersubjektif.
4. Kebenaran pengetahuan yang terkandung dalam pengetahuan agama. Pengetahuan agama bersifat dogmatis yang selalu dihampiri oleh keyakinan yang telah tertentu sehingga pernyataan dalam kitab suci agama memiliki nilai kebenaran sesuai dengan keyakinan yang digunakan untuk memahaminya.
Yang kedua, kebenaran dikaitkan dengan sifat atau karakteristik dari bagaimana cara atau dengan alat apakah seseorang membangun pengetahuannya. Implikasi dari penggunaan alat untuk memperoleh pengetahuan akan mengakibatkan karakteristik kebenaran yang dikandung oleh pengetahuan akan memiliki cara tertentu untuk membuktikannya. Jadi jika membangun pengetahuan melalui indera atau sense experience, maka pembuktiannya harus melalui indera pula.
Dan yang terakhir, kebenaran dikaitkan atas ketergantungan terjadinya pengetahuan. Membangun pengetahuan tergantung dari hubungan antara subjek dan objek, mana yang dominan. Jika subjek yang berperan, maka jenis pengetahuan ini mengandung nilai kebenaran yang bersifat subjektif. Sebaliknya, jika objek yang berperan, maka jenis pengetahuannya mengandung nilai kebenaran yang sifatnya objektif.

URGENSI PARADIGMA ILMU DALAM PROSES KEILMUAN (Analisa Teori Paradigma Thomas Samuel Kuhn

URGENSI PARADIGMA ILMU DALAM PROSES KEILMUAN (Analisa Teori Paradigma Thomas Samuel Kuhn)
Filed under: Filsafat Barat by Alex Nanang Agus Sifa — Tinggalkan komentar Desember 12, 2010
Pendahuluan
Paradigma ilmu memiliki peranan penting bahkan sangat penting dalam proses keilmuan. Paradigma ilmu berfungsi memberikan kerangka, mengarahkan, bahkan menguji konsistensi dari proses keilmuan. Tidak hanya itu, paradigma ilmu juga berfungsi sebagai lensa yang melaluinya para ilmuan dapat mengamati dan memahami masalah-masalah ilmiah dalam bidang masing-masing dan jawaban-jawaban ilmiah terhadap masalah-masalah tersebut. Oleh karena itu, paradigma merupakan aspek yang begitu penting “urgent” dalam proses keilmuan.
Definisi Paradigma Secara Umum
Ali mudhafir dalam kamus istilah filsafat menuliskan beberapa pengertian/definisi tentang paradigma diantaranya adalah pendapat dari Friedrichs Robert yang menjelaskan bahwa “paradigma adalah suatu pandangan mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalannya.
Jadi, paradigma secara umum juga bisa diartikan sebagai seperangkat kepercayaan atau keyakinan dasar yang menentukan seseorang dalam bertindak pada kehidupan sehari-hari. Atau dengan ibarat lain paradigma merupakan sebuah jendela tempat orang mengamati dunia luar, tempat orang bertolak menjelajahi dunia dengan wawasannya (worl-dview).
Definisi Paradigma menurut Thomas Samuel Kuhn
Paradigma menurut Thomas Samuel Kuhn adalah:
Paradigma-paradigma adalah cara-cara meninjau benda-benda, asumsi yang dipakai bersama yang mengandung pandangan dari suatu zaman dan pendekatannya atas masalah-masalah ilmiah. Istilah paradigma dalam artian teknis tersebut bertalian dengan filsafat ilmu. Kemudian istilah disciplinary matrix dipakai lebih mendekati arti di atas, dan paradigma menjadi bentuk-bentuk yang baku bagi pemecahan masalah. Kemudian pemecahan-pemecahan ini dipakai untuk memecahkan masalah selanjutnyadan dengan demikian mengatur bentuk-bentuk pemecahan lebih lanjut. Pergeseran paradigma berkembang sebagaimana perkembangan ilmu. Kebanyakan paradigma tidak bisa didefinisikan, tetapi merupakan cita-cita konseptual yang memberi tahu dan mengilhami suatu pemikitan dari suatu masyarakat tertentu, mengarahkan perhatian-perhatiannya, dan menentukan macam kesadaran yang kuat akan bentuk objektivitas bagi masyarakat tertentu.
Thomas Samuel Kuhn memakai istilah “paradigma” untuk menggambarkan system keyakinan yang mendasari upaya pemecahan teka-teki di dalam ilmu. Dengan memakai istilah paradigma, ia bermaksud mengajukan sejumlah contoh yang telah diterima tentang praktek ilmiah nyata, termasuk di dalamnya hukum, teori, aplikasi dan instrumentasi yang menyediakan model-model, yang menjadi sumber konsistensi tradisi riset ilmiah tertentu. Menurutnya, paradigma sebagai seperangkat keyakinan mendasar yang memandu tindakan-tindakan kita, baik tindakan keseharian maupun dalam penyelidikan ilmiah. Selanjutnya ia mengartikannya sebagai (a) A set of assumption and (b) beliefs concerning; yaitu asumsi yang dianggap benar (secara given). Untuk dapat sampai pada asumsi harus ada perlakuan empirik (melalui pengamatan yang tidak terbantahkan (accepted assume to be a true). Dengan demikian paradigma dapat dikatakan sebagai a mental a window, tempat terdapat “frame” yang tidak perlu dibuktikan kebenarannya karena masyarakat pendukung paradigma telah memiliki kepercayaan atasnya.
Dari kutipan-kutipan di atas dapat dipahami bahwa makna pokok paradigma adalah pandangan fundamental atau pandangan mendasar yang menjadi asumsi dasar dan sekaligus aturan maun dalam suatu disiplin ilmu. Pandangan mendasar itu diperoleh dari kesatuan consensus dalam satu disiplin ilmu tertentu. Secara umum paradigma ilmu pengetahuan modern atau sains adalah objektivitas dan rasional. Sesuatu disebut ilmiah, kalau memiliki sifat obyektivitas dan rasionaltas. Jika tidak memiliki persyaratan itu, maka secara paradigmatik, ia bukan ilmu pengetahuan ilmuah. Secara khusus, paradigma obyektif dan tasional ini berkembang, dalan berbagai disiplin, bidang, dan aliran-aliran dalam ilmu pengetahuan modern.
Pertanyaan Fundamental Proses Keilmuan dalam Paradigma Ilmu
Paradigma ilmu pada dasarnya berisi jawaban atas pertanyaan fundamental proses keilmuan manusia, yaitu bagaimana, apa dan untuk apa. Tiga pertanyaan mendasar itu kemudian dirumuskan menjadi beberapa dimensi, yaitu: a). Dimensi ontologis, pertanyaan yang harus dijawab oleh seorang ilmuwan adalah, apa sebenarnya hakikat dari suatu yang dapat diketahui (knowable), atau sebenarnya apa hakikat dari suatu realitas (reality). Dengan demikian dimensi yang dipertanyakan adalah hal yang nyata (what is nature of reality?. b). Dimensi epistimologis, pertanyaan yang harus dijawab oleh seorang ilmuwan adalah, apa sebenarnya hakikat hubungan antara pencari ilmu (inquirer) dan objek yang ditemukan know/knowable?. c). Dimensi axiologis, yang dipermasalahkan adalah peran nilai-nilai dalam suatu kegiatan penelitian. d). Dimensi retorik, yang dipermasalahkan adalah bahasa yang dipergunakan dalam penelitian. e). Dimensi metodologis, pertanyaan yang harus dijawab oleh seorang ilmuwan adalah, bagaimana cara atau metodologi yang dipakai seseorang dalam menemukan kebenaran suatu ilmu pengetahuan?. Jawaban terhadap kelima dimensi pertanyaan ini, akan menemukan posisi paradigma ilmu untuk menentukan paradigma apa yang akan dikembangkan seseotang dalam kegiatan keilmuan.
Paradigma dan konstruksi komunitas ilmiah
Thomas Samuel Kuhn dalam bukunya The structure of scientific Refolutions menyatakan bahwa para ilmuwan bukanlah para penjelajah berwatak pemberani yang menemukan kebenaran-kebenaran baru. Mereka lebih mirip pemecah teka-teki yang bekerja dalam pandangan duniayang sudah mapan. Kuhn memakai istilah “paradigma” untuk menggambarkan sistem keyakinan yang mendasati upaya pemecahan teka-teki di dalam ilmu. Dengan memakai istilah paradigma, dia bermaksud mengajukan sejumlah contoh yang telah diterima tentang praktek ilmiah nyata, termasuk di dalamnya hukum, teori, aplikasi dan instrumentasi yang menyediakan model-model, yang mendasari sumber kosnsistensi dari tradisi riset ilmiah tertentu.
Pandangan Thomas Samuel Kuhn ini telah membuat dirinya tampil sebagai prototipe pemikir yang mendobrak keyakinan para ilmuwan yang bersifat positivistik. Para ilmuwan yang bersifat positivistik ini kurang begitu berminat untuk melihat faktor historis yang ikut berperan dalam aplikasi hukum-hukum yang dianggap sebagai universal. Fokus pemikiran Thomas Samuel Kuhn ini memang menentang pendapat golongan realis yang mengatakan bahwa sains-disika dalam sejarahnya berkembang melalui pengumpulan fakta-fakta bebas konteks. Sebaliknya dia menyatakan bahwa perkembangan sains berlaku melalui apa yang disebut paradigma ilmu. Menurut Thomas Samuel Kuhn, paradigma ilmu adalah suatu kerangka teoritis, atau suatu cara memandang dan memahami alam, yang telah digunakan oleh sekelompok ilmuwan sebagai pandangan dunia (worldview) nya. Paradigma ilmu berfungsi sebagai lensa yang melaluinya ilmuwan dapat mengamati dan memahami masalah-masalah ilmiah dalam bidang masing-masing dan jawaban-jawaban ilmiah terhadap masalah-masalah tersebut.
Thomas Samuel Kuhn menamakan sekumpulan ilmuwan yang telah memilih pandangan bersama tentang alam (yakni paradigma ilmu bersama) sebagai suatu “komunitas ilmiah”. Istilah komunitas ilmiah bukan berarti sekumpulan ilmuwan yang bekerja dalam suatu tempat. Suatu komunitas ilmiah yang memiliki suatu paradigma bersama tentang alam ilmiah, memiliki kesamaan bahasa, nilai-nilai, asumsi-asumsi, tujuan-tujuan, norma-norma dan kepercayaan-kepercayaan. Jadi menurut Thomas Samuel Kuhn , paradigmalah yang menentukan jenis-jenis eksperimen yang dilakukan para ilmuwan, jenis-jenis pertanyaan yang mereka ajukan dan masalah yang mereka anggap penting.
Antara Value-Neutral Dan Value-Laden
Paradigma ilmu tidaklah lebih dari suatu konstruksi segenap komunitas ilmiah, yang dengannya mereka membaca, menafsirkan, mengungkap dan memahami alam. Berdasarkan bukti-bukti dari sejarah ilmu, Kuhn menyimpulkan bahwa faktor historis yakni faktor nonmatematis-posivistik, merupakan faktor pernting dalam bangunan paradigma keilmuan secara utuh. Temuan Kuhn ini, dengan begitu, memperkuat alur pemikiran bahwa sains bukannya value-neutral, seperti yang terjadi dalam pemecahan persoalan-persolan matematis, tetapi sebaliknya ilmu pengetahuan sesungguhnya adalah value laden, yang erat terkait dengan nilai-nilai sosio kultural, nilai-nilai budaya, pertimbangan politik praktis dan sebagainya. Atas panadangannya yang meyakini bahwa ilmu memiliki keterkaitan dengan faktor subjektivitas, dalam arti kontruksi sosio kultural dari komunitas ilmiah yang berwujud paradigma ilmu, filsafat ilmu Kuhn disebut oleh kalangan poeitiv sebagai psychology of discovery, yang dibedakan dengan logic of discovery sebagaimana pandangan positif.
Pendapat Thomas Samuel Kuhn ini juga ditegaskan dalam bukunya Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan yang menyatakan bahwa “Pada dasarnya ilmu perngetahuan itu sendiri tidak bebas nilai. Artinya, ia tergantung kepada pelaku atau subjek yang mengendarainya.” Hal senada juga disampaikan oleh Muhammad Nuquib Al-Attas dalam bukunya Islam and Secularism “ilmu bukan bebas nilai (value-free), tetapi syarat nilai (value-laden). Ilmu bisa dijadikan alat yang sangat halus dan tajam bagi menyebarluaskan cara dan pandangan hidup suatu kebudayaan.
Proses Perkembangan Ilmu
Proses perkembangan ilmu pengetahuan manusia menurut Thomas Samuel Kuhn tidak dapat terlepas sama sekali dari apa yang disebut keadaan-“normal science” dan “revolutionary science”. Menurutnya ada empat tahap dalam proses perkembangan ilmu. Pertama, sains normal (normal science), dalam wilayah ini semua ilmu pengetahuan telah tertulis dalam textbook. Para komunitas ilmiah pada keadaan ini telah terbiasa memecahkan persoalan lewat cara-cara yang biasa berlaku secara konvensional, cara-cara standar, cara-cara yang sudah terbakukan dan mapan.
Kedua, keganjilan-keganjilan (anomalies), tahapan ini merupakan titik awal dari adanya tahapan berikutnya (revolutionary science). Dalam tahapan ini ditemukan berbagai macam keganjilan-keganjilan. keganjilan-keganjilan ini disebabkan karena adanya banyak persoalan yang tidak dapat terselesaikan. Keadaan yang seperti ini juga seringkali tidak dirasakan bahkan tidak diketahui oleh para pelaksana di lapangan. Hal ini disebabkan karena komunitas ilmiah terkurung oleh rutinitas pada wilayah normal science serta mereka tidak menyadari akan adanya keganjilan-keganjilan (anomalies).
Ketiga, krisis, keadan krisis merupakan suatu mekanisme koreksi diri yang memastikan bahwa kekakuan pada sains normal tidak akan berkelanjutan. Keadaan yang seperti ini muncul ketika suatu komunitas ilmiah mulai mempersoalkan kesempurnaan paradigmanya. Dengan demikian para komunitas ilmiah akan mencari jawaban paradigma mana yang membolehkan mereka menyelesaikan teka teki dengan berhasil.
Keempat, revolusi sains (revolutionary science), tahapan ini terjadi ketika suatu komunitas ilmiah dapat menyelesaikan krisisnya dengan menyusun diri di sekeliling paradigma baru. Bila suatu komunitas ilmiah menyusun diri kembali di sekeliling suatu paradigma baru, maka ia memilih nilai-nilai, norma-norma, asumsi-asumsi, bahasa-bahasa dan cara-cara mengamati dan memahami alam ilmiahnya dengan cara baru. Inilah proses pergeseran paradigma (shifting paradigm) terjadi, yakni suatu proses dari keadaan normal science ke wilayah “revolutionary science”. jadi menurut Thomas Samuel Kuhn, ilmu berkembang melalui siklus-siklus: sains normal diikuti oleh revolusi yang diikuti lagi oleh sains normal dan kemudian diikuti lagi oleh revolusi. Setiap paradigma bisa menghasilkan karya khusus yang menentukan dan membentuk paradigma.
PENUTUP
Dengan melalui paradigma ilmu, maka sains dapat berkembang. Dan dengannya pula suatu komunitas ilmiah dapat memberikan suatu gambaran tentang bagaimana seharusnya-sepatutnya-bentuk dunia ilmiah mereka. Tidak hanya itu, ketika terjadi keganjilan-keganjilan (anomalies) bahkan sampai ke wilayah krisis, suatu komunitas ilmiah juga dapat menyelesaikan keadaan krisisnya tersebut dengan menyusun diri di sekeliling suatu paradigma baru, maka terjadilah apa yang disebut Thomas Samuel Kuhn dengan revolusi sains (revolutionary sains). Yang mana revolusi sains tersebut dimulai dan diikuti oleh sains normal (normal science). Proses dari keadaan sains normal ke wilayah revolusi sains itu kemudian disebut dengan pergeseran paradigma (shifting paradigm). Jadi perkembangan ilmu itu tidak disebabkan oleh dikuatkan atau dibatalkannya suatu teori, tetapi lebih disebabkan oleh adanya pergeseran paradigma (shifting paradigm). Dan perkembangan ilmiah tersebut lebih bersifat revolusioner bukan evolusi/akumulatif. Oleh karena itu, temuan Thomas Samuel Kuhn ini memperkuat alur pemikiran bahwa sains bukan bersifat value neutral tetapi value laden.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Attas, Muhammad Nuquib, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993)
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat (Jakarta: PT Gramedia, 2005, cet ke-4)
Hardirman, F. Budi, Filsafat Modern; dari Machiavelli sampai Nietzsche (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007, cet ke-2)
Mudhafir, Ali, Kamus Istilah Filsafat, (Yogyakarta: Liberty, 1992, cet ke-1),
Muslih, Muhammad Filsafat Ilmu; Kajian Atas Asumsi Dasar Paradigma Dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, 2008, Cet Ke-5)
Suhartono, Suparlan, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Jogjakarta: Ar-Ruz, 2005, cet ke-1)
Dari Internet
http://plato.stanford.edu/entries/thomas-kuhn/
http://www.amazon.com/Structure-Scientific-Revolutions-Thomas Kuhn/dp/ 2645808
http://tech.mit.edu/V116/N28/kuhn.28n.html
http://www.protestants-online.net/phorum/read.php?f=3&i=9&t=9
Oleh: Alex Nanang Agus Sifa (Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Program Studi Aqidah Filsafat Gontor)